Mengapa ke Berlin
Aneh memang ketika tiba-tiba diberi kesempatan Allah untuk merasakan dunia di luar Indonesia. Berlin saat Oktober, ketika musim gugur berjalan pelan menuju salju. Singkat kata aku bisa sampai disana.
Dulu kupikir – untuk diriku – harus menjadi mahasiswa luar negeri agar bisa ke luar negeri. Seperti mbak Arida yang bertahun-tahun sekolah di Jepang. Seperti cerita tentang mahasiswa-mahasiswa beasiswa gratis di Jerman. Seperti teman-teman yang menjadi dosen, bisa sekolah ke Australia, bisa ke Taiwan. Sekarang sahabatku Kurnix sudah di Malaysia untuk meneruskan studi.
Musim gugur di Berlin, dinginnya kering tapi penuh semangat, sebenarnya karena baru pertama kali menginjakkan kaki diluar pulau Jawa. Berita tentang betapa rapinya tata kota di luar negeri tentu sudah sering didengar. Juga tentang kedisiplanan orang-orangnya. Yang menjadi perhatianku adalah, mengapa Allah memberiku kesempatan menuju kota itu ?
Teringat Haikal, sobatku yang sangat ingin sekolah di Jerman. Semangatnya sempat menyulutku untuk ikut-ikutan bercita-cita juga sekolah di luar negeri. Sekarang dia sedang menyelesaikan S2 di UI. Subhanallah, ternyata kenginan sekolah-lah yang utama, dimanapun … bukan hanya karena Jerman atau Jepang.
Ia dunia yang berbeda, ketika daun-daun berserakan begitu indah, dan berjalan diatasnya seperti menemukan sahabat lama bukan itu yang membuat senang. Meski dinginnya membuat bibir pecah dan anginnya bisa menyentuh tulang, bukan itu yang membuat gelisah. Gedung-gedung tuanya yang antik dengan banyak sejarah tertulis ditemboknya, dengan cepat bisa menghabiskan memory card kameraku tak membuatku kawatir. Yang membuatku berpikir adalah, mengapa wong ndeso buta bahasa inggris ini bisa tersasar di Berlin ?
Hanya baka (baca: bodoh) yang jauh-jauh ke Berlin tetapi tidak tahu mengapa bisa ke Berlin. Yang pasti, sadarlah aku bahwa Allah telah mengabulkan keinginanku untuk bisa bertemu dengan musim gugur, dengan cara-Nya yang unik dan tiba-tiba. Hanya itu kayaknya …