Tentang Pendidikan Karakter Dan Sisi Lainnya

japanese-zebra-crossing-2Awalnya sedang kebingungan membandingkan sekolah buat Izz Muhandis. Satu sekolah katanya unggul di pendidikan karakter tetapi ada banyak hal lain yang sepertinya kurang. Sekolah satunya mungkin tidak jualan pendidikan karakter (PK), tetapi lebih lama dan matang, fasilitas lebih lengkap dan terlihat bagus di akademisnya. Belum lagi yang namanya home schooling. Akhirnya pada satu kesimpulan, tidak ada yang perfect, meski kita sangat menginginkan pendidikan yang sempurna buat anak-anak kita, tetap saja tidak ada satu yang perfect. Kita cuma bisa mencari “yang terbaik” yang tentu beda untuk tiap-tiap anak.

Apa itu the so called “character education” ? Yang kabarnya baru saja diterapkan di kurikulum pendidikan di Indonesia. Saya tidak banyak browse kebaikan-kebaikannya, saya sudah paham dan pasti banyak kebaikannya. Tetapi saya justru cari antitesa-nya, cons atau kekuarangannya. Sampai akhirnya saya berdiskusi dengan akh Muhyidin (simak akun twitter @moehyie dan blog) dan mendapat banyak informasi sisi lain pendidikan karakter, berdasarkan dari link ini. Berikut pemaparan akhi Muhyi dari kultwitnya :

Amerika

Memang kok, pendidikan karakter sangat layak untuk dipertanyakan, disangsikan dan digugat :). Hehe, maksudnya ‘dipertanyakan’ konsepnya. Sebelumnya barangkali perlu digarisbawahi dulu bahwa semua kritik tersebut ditujukan pada penerapan pendidikan karakter di USA.

Ini penting karena pendidikan karakter sangat erat dengan tatanan nilai di suatu masyarakat. Terlebih dengan aspek doktrinasi yg mereka kritik. Ada sumber mengatakan bahwa PK dimulai 23/1/1997 saat Bill Clinton meminta para guru untuk memasukkan PK ke dalam kurikulum. Namun ada sumber lain mengatakan bahwa PK di Amerika sejatinya dimulai sejak lama bahkan sekitar tahun 1920an.

Meski begitu selama bertahun-tahun PK tidak banyak menunjukkan hasil yang memuaskan banyak pihak dan justru sering menuai kritikan. Beberapa pengertian tentang pendidikan karakter cek disini  … namun dari kumpulan tulisan kemarin bisa disarikan bahwa pendidikan karakter > moral > baik/buruk. Nah dakan konsep dasar inilah yang paling sering dikritisi > “Baik/buruk di mata siapa?”.

Tatanan nilai di masyarakat yang buram. Terlebih dijunjungnya sekulerisme dan liberalisme membuat hal tersebut sangat wajar dikritik. Bahkan di beberapa tulisan (kritik) mereka – secara langsung ataupun tidak – melarang keterlibatan agama (gereja) dalam pendidikan. “Doktrin/dogma yang kuat menyebabkan anak-anak sedemikian patuh. Mereka seperti robot yang bergerak dalam koridor2”.

Peran (perintah) guru yang begitu dominan hingga sistem reward (penghargaan bagi yang berlaku baik) juga sangat dikritik. Reward menyebabkan anak-anak menjadi ketergantungan terhadap imbalan. Mereka (kritikus) menyebutnya “doggie biscuit for being good”. Ketergantungan siswa terhadap pengaruh eksternal – dalam rangka menjaga hidup dalam koridor-koridor yang tadi disebutkan. Anak-anak akan menjadi tidak merdeka. Mereka selalu terkurung dalam norma-norma baik/buruk. Jadinya takut untuk berbuat salah.

Kritikus beranggapan PK/ moral/pendidikan dengan pendekatan individu terlalu absurd bagi anak. Lebih baik dengan pendekatan sistem. Pendidikan karakter hanya bisa diterapkan pada komunitas tertutup. Misal pada pulau tertentu yang berlaku sistem nilai/norma secara tetap. Dan di Amerika sendiri PK diklaim telah menimbulkan hutan kontroversi. Bahkan aspek politik disebut ikut mewarnai.

Terakhir aku mengutip pernyataan Lawrence Kohlberg seorang pria berkebangsaan yahudi yg disebut-sebut sbg bapak PK
“Virtues and vices are labels by which people award praise and blame to others….” 

Indonesia

Di Indonesia, sejauh ini yang aku temui berbeda pengaplikasiannya meskipun sama-sama dilabeli PK. Beda dalam arti bagus. Sejauh ini konsep sekaligus pengaplikasian terbaik menurutku dimiliki sekolah Alam. Lebih spesifik lagi SA Indonesia Ciganjur. Wallahualam, secara pribadi kurang sreg dengan SDIT, terutama yang fullday school. Beban pelajaran malah bisa berlipat. Meski begitu di banyak tempat SDIT tetap menjadi pilihan yang terbaik. Pembentukan karakter / akhlak sudah bagus. Secara akhlak, kepribadian, leadership dll sungguh terasa perbedaannya.

Sekolah bukanlah lembaga tempat ortu menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak, tanggung jawab utama tetap berada di pundak ortu. Perhatian, pemantauan, bimbingan dan paling utama kasih sayang mutlak terus diberikan. Dan yang penting juga jangan panik. Menurutku pendidikan yang terbaik – dimanapun dan oleh siapapun itu adalah pendidikan yang sesuai dengan FITRAH, baik anak sebagai manusia secara umum maupun sebagai individu yang punya karakteristik atau keunikannya masing-masing. Kenali sedini mungkin potensi, minat dan bakatnya.

Demikianlah, pada akhirnya kita tidak bisa menggantungkan pendidikan karakter pada sekolah-sekolah atau kurikulum, orang tua juga sangat berperan. Dan meski ada kritik dari banyak sisi, tidak berarti kita harus mengabaikannya. Semua justru harus berperan, jika kita mungkin adalah generasi yang tidak pernah mengenyam pendidikan karakter, setidaknya kita memikirkan generasi masa depan. Entah bagaimana caranya, kalau kita peduli, kita bisa mulai dari yang sederhana, mulai dari diri sendiri dan keluarga.

Lalu Lintas di Jepang

Lalu Lintas di Jepang, Image Credit : en.rocketnews24.com

Aplikasi

Contoh yang saya kagumi tentang aplikasi karakter adalah membuang sampah, antri dan menyeberang jalan. Aplikasi karakter ini sangat sederhana tetapi sepertinya kok sangat susah diterapkan. Ambilah negara Jepang sebagai studi kasus.  Mereka jauh dari agama, mereka juga mungkin tidak mempunyai tujuan hakiki seperti surga dan akhirat. Tetapi mereka memiliki karakter yang kuat. Sistemkah yang membentuk ? kurikulumkah ? budaya ? Mengapa disini susah sekali menerapkan “buang sampah pada tempatnya” padahal seingat saya sejak SD sudah diajarkan.

Karena kegagalan project “buang sampah pada tempatnya” itu … saya berusaha selalu mengajarkan dan mencontohkan kepada Izz Muhandis (dan nanti Imad Aqeel kalau sudah ngerti :D) tentang membuang sampah pada tempatnya seremeh apapun yang kita buang, tentang antri, tentang lampu merah, tentang karakter-karakter sederhana YANG MUNGKIN tidak bisa diperoleh cuma-cuma dari kurikulum dan sistem yang ada. Semoga saya tidak salah. Ada kritik dan masukan ? Form komentar di bawah sangat terbuka lebar.

Bhakti Utama

I currently focus on maintaining some niche sites and personal blogs. I have a passion for writing about SEO, photography, astronomy, gold investment, and virtual reality. Mastering several programming languages, but most enjoy web development. I still have a dream to travel around the world :D

You may also like...

1 Response

  1. samsul says:

    emang udh jiwanya bro.. susah banget klo disini diterapin kek gtu..

Leave a Reply