Yogya Ku Jatuh Cinta
Dua hari dan semalam di Yogya memang tidak begitu lama, tetapi ‘berpacaran’ dengan istri disana memang sangat mengesankan, karena senyum kotanya, pelukan hangat udaranya dan tentunya karena murah juga. Ehem … ane bahkan jatuh cinta lagi sama istri : “> hihihi.
Berjalan di Yogya serasa berjalan di lorong waktu lama. Bentuk lampu yang cantik antik , tembok-tembok yang tebal muka, dengan jamur dan cat yang tua menghiasinya. Wajah orang serasa lebih ramah, mungkin karena dinamisassi waktu yang sedikit terhambat oleh romantisme kota ini sehingga membuat masyarakatnya lebih rileks dan santai.
Ane tidak akan membahas tentang kesedihan kota ini. Sedikit saja mungkin ya, kota ini terperangkap dalam aurora mitos yang tak berkesudahan, klenik yang menghujam hati, dan generasi muda yang tak jelas. Itu sedikit saja kan, karena ane sedang bercerita tentang cinta.
Setidaknya ada rasa yang harus kuambil di setiap perjalanan untuk kubawa pulang, bukan, bukan sekedar rasa pedasnya rujak di ujung jalan malioboro, enak memang. Bukan pula es kelapa muda dengan gula jawanya yang nikmat itu. Bukan juga sekedar rasa seni yang tinggi di setiap sudut pasar seni.
Tapi rasa persahabatan yang lebih dari seorang istri yang mungkin belum ane rasakan sebelumnya. Dan seharusnya ane juga memberikannya bagi istri. Hingga perjalanan itu tidak sekedar refreshing diri, tapi pemantapan cinta fillah yang dulu diikat erat dengan perjanjian yang berat.
Malioboro yang ramai, UGM yang tenang dengan masjidnya yang anggun, benteng-benteng yang diam, becak dengan ayunnya yang ringan, angkutan kota yang mengerikan – katanya banyak copet loh … semua itu ada di Yogya, tempat kita bisa menyebutkan satu-persatu keunikannya dengan sedikit puitis 🙂